Aku menaburkan benih-benih senyum di ladang yang disiram
oleh tangis setiap pagi. Pada petani-petani itu kuminta agar menjaga dan
menanam bibit itu dengan baik sehingga ketika memanennya akan mendapat hasil
yang baik pula. Di ladang milik sahabatku, senyum-senyum yang disiram oleh
tangis itu tumbuh menjadi kebahagiaan. Katanya ada pupuk khusus yang membuatnya
sedemikian rupa. Apa nama pupuk itu?
“Cari saja di toko Kehidupan” jawabnya.
Kemudian aku mengayuh sepedaku menuju toko tersebut. Roda-roda
sepeda berputar diatas kerikil-kerikil tajam, kenangan-kenangan yang
menggenang, dan aspal panas masa lalu. Matahari menyengat di atas kepalaku
walau tak sepanas harapan nistamu, kekasih.
Perjalanan masih lumayan jauh namun kurasa aku tak sanggup
lagi. Aku merasakan haus kasih sayang, tenggorokanku mulai kering. Aku
dehidrasi. Aku mencoba menelan ludah dengan susah payah walau tak sesulit
menelan kenyataan pahit ini.
Sebentar lagi akan kudapat hasil panen yang baik, bukannya
ada pepatah mengatakan, bersakit dahulu bersenang kemudian? Saat ini aku begitu
susah payah mencapai Toko Kehidupan namun setelah kudapat pupuk itu, lahanku
akan menghasilkan kebahagiaan yang berlimpah ruah.
Kusandarkan sepedaku di bahu bidang pohon kokoh di seberang
emperan toko. Aku berjalan begitu semangat menyeberangi jalan yang kini
lengang. Toko Kehidupan ada tiga langkah dari tempatku berdiri sekarang, nampak
penjaga toko yang sudah tua dengan kipas bambu di tangannya. Tidak ingin
membuang waktu aku bergegas memasuki toko tersebut.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya penjaga toko tua itu.
“Saya mencari pupuk khusus untuk kebahagiaan, adakah?”
“Oh, cinta…”serunya.
“Apapun namanya. Adakah?”
“Cinta sudah habis. Kau bodoh sekali, kau ciptakan saja
pupuk itu, minta bantuan kekasihmu”
“Kekasih? Kau tahu, kekasihku itu pembodoh yang tak mengerti
kebahagiaan”
“Kekasihmu tak akan lagi menjadi pembodoh jika kau kembali
dan mengajaknya menciptakan cinta”
Penjaga toko tua itu memberiku buku kecil dengan sampul
kumal berwarna coklat kayu. Di sampul itu tertulis, “Resep Cinta untuk
Kebahagiaan”. Setelah mendapatkan buku itu aku kembali pulang namun kali ini
tidak ke ladang. Aku mengikuti saran penjaga toko Kehidupan itu, aku mengayuh
sepeda ke jalan menuju sang kekasih.
















