Pengintip

Thursday, February 23, 2012

Ladang Kebahagiaan



Aku menaburkan benih-benih senyum di ladang yang disiram oleh tangis setiap pagi. Pada petani-petani itu kuminta agar menjaga dan menanam bibit itu dengan baik sehingga ketika memanennya akan mendapat hasil yang baik pula. Di ladang milik sahabatku, senyum-senyum yang disiram oleh tangis itu tumbuh menjadi kebahagiaan. Katanya ada pupuk khusus yang membuatnya sedemikian rupa. Apa nama pupuk itu?
“Cari saja di toko Kehidupan” jawabnya.
Kemudian aku mengayuh sepedaku menuju toko tersebut. Roda-roda sepeda berputar diatas kerikil-kerikil tajam, kenangan-kenangan yang menggenang, dan aspal panas masa lalu. Matahari menyengat di atas kepalaku walau tak sepanas harapan nistamu, kekasih.
Perjalanan masih lumayan jauh namun kurasa aku tak sanggup lagi. Aku merasakan haus kasih sayang, tenggorokanku mulai kering. Aku dehidrasi. Aku mencoba menelan ludah dengan susah payah walau tak sesulit menelan kenyataan pahit ini.
Sebentar lagi akan kudapat hasil panen yang baik, bukannya ada pepatah mengatakan, bersakit dahulu bersenang kemudian? Saat ini aku begitu susah payah mencapai Toko Kehidupan namun setelah kudapat pupuk itu, lahanku akan menghasilkan kebahagiaan yang berlimpah ruah.
Kusandarkan sepedaku di bahu bidang pohon kokoh di seberang emperan toko. Aku berjalan begitu semangat menyeberangi jalan yang kini lengang. Toko Kehidupan ada tiga langkah dari tempatku berdiri sekarang, nampak penjaga toko yang sudah tua dengan kipas bambu di tangannya. Tidak ingin membuang waktu aku bergegas memasuki toko tersebut.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya penjaga toko tua itu.
“Saya mencari pupuk khusus untuk kebahagiaan, adakah?”
“Oh, cinta…”serunya.
“Apapun namanya. Adakah?”
“Cinta sudah habis. Kau bodoh sekali, kau ciptakan saja pupuk itu, minta bantuan kekasihmu”
“Kekasih? Kau tahu, kekasihku itu pembodoh yang tak mengerti kebahagiaan”
“Kekasihmu tak akan lagi menjadi pembodoh jika kau kembali dan mengajaknya menciptakan cinta”
Penjaga toko tua itu memberiku buku kecil dengan sampul kumal berwarna coklat kayu. Di sampul itu tertulis, “Resep Cinta untuk Kebahagiaan”. Setelah mendapatkan buku itu aku kembali pulang namun kali ini tidak ke ladang. Aku mengikuti saran penjaga toko Kehidupan itu, aku mengayuh sepeda ke jalan menuju sang kekasih.

No comments:

Post a Comment