***
Hai. Awalnya aku bingung menuliskannya. Biasanya setiap aku menulis surat untuk seseorang, aku selalu bertanya "Apa kabar" namun kali ini aku tidak mungkin menanyakannya padamu. Bukankah kita baru saja bertemu? Cukup "Hai" saja yang sederhana.
Apakah setelah kamu membaca surat ini nanti kamu akan tetap menemaniku menunggu senja? Ya, walau di tempat yang berbeda? Jangan jawab sekarang, jawab saja ketika aku menanyakannya lagi.
Apa kamu ingat ketika kamu bertanya padaku, "Mengapa kamu mengagumi senja?" Hari itu aku dan kamu berdebat lama dan aku belum bisa menjelaskannya padamu. Senja itu bukan saja kukagumi namun kini telah menjadi bagian dari hidupku. Ya, sepotong senja itu adalah filosofi hidupku. Senja memiliki waktu yang singkat sama seperti kehidupan. Keindahan yang diberikan oleh senja adalah sebuah kenangan yang tidak akan pernah terhapus. Malam itu kamu juga bertanya, "Mengapa kamu tidak suka saja pada malam? Waktunya lebih lama dan ia lebih indah" Terlalu glamour, kataku waktu itu. Senja itu sederhana. Sesederhana kehidupan yang diberikan oleh Tuhan. Seharusnya hari itu aku melihat ekspresi wajahmu yang tidak puas dengan jawabanku namun aku terlalu sibuk mengabadikan potret senja.
Kamu ingat ketika aku dan kamu mengunjungi perpustakaan kota? Aku dan kamu langsung berpisah begitu melewati pintu masuk. Aku menuju rak-rak dimana buku-buku sastra tertata apik dengan baunya yang sangat khas. Sedangkan kamu menuju rak buku-buku teknik. Perbedaan, pikirku.
Aku selalu berusaha keras seolah-olah aku dan kamu ini tidak berbeda. Aku mencoba menuliskan puisi-puisi dengan kosakata teknik, seperti kalkulus, trigonometri, dan semua-semuanya. Namun aku lagi-lagi harus membuang kertas-kertas itu ke dalam tempat sampah di bawah meja belajarku. Mereka tidak indah, aku tidak pernah mampu memahami setiap detail katanya, tidak pernah cocok untuk puisi. Seperti itulah aku dan kamu sebenarnya, tidak pernah ada kecocokan.Aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita.
Kamu pernah mengomentari buku-buku sastra yang menggunung di pojokan ruang keluargaku. Katamu aku sudah seperti penjual buku-buku bekas. Seharusnya waktu itu aku memberi tahumu bahwa ditumpukan buku-buku sastra itu ada satu buku teknik yang sengaja kubeli agar aku semakin mengenalmu. Agar ketika aku dan kamu mengobrol waktu tidak habis begitu cepat hanya karena aku dan kamu saling diam. Namun kamu tahu apa yang terjadi pada buku itu? Mengapa ia ada di tumpukan buku-buku itu? Saat aku membaca halaman pertamanya aku langsung merasa jenuh, bosan, dan menganggap buku itu tidak ada artinya. Ah, mengapa justru harus berbeda untuk dapat saling melengkapi?
Aku bingung harus menulis apa lagi. Aku tidak ingin ceritaku justru membuatmu sedih karena esok kita akan berpisah. Penerbangan pertama esok hari akan membawaku jauh, beribu mil jauhnya darimu. Aku ingin meninggalkan segala kenangan yang menyenangkan.
Cita-cita.... Katamu dewasa adalah ketika seseorang mengetahui tentang kelanjutan hidupnya, ia harus bisa memilih sendiri keputusan akhir yang akan ia ambil untuk masa depannya. Setelah seseorang melewati proses panjang remaja, seragam putih abu-abu dan segala ingar bingar kehidupannya.
Bertahun-tahun yang lalu aku dan kamu bertemu di gerbang sebuah bangunan bercat putih. Kamu mengenakan seragam SMPmu begitu juga aku. Kamu nampak sangat rapi tapi tidak dengan aku. Itu bukan awal aku jatuh cinta padamu. Semua berjalan begitu cepat rupanya hingga aku tidak menyadari hari, waktu, tanggal dan dimana pertama kali aku jatuh cinta padamu.
Apakah baru saja aku menuliskan bahwa aku jatuh cinta padamu? Salah memang jika aku mengungkapkannya sekarang dan melalui sebuah surat pula. Sekali lagi aku harus menekankan bahwa aku dan kamu akan terus saling diam jika sedang bersama. Aku merasa ada jeda di antara kebersamaan kita. Jeda yang semakin lama semakin membuat waktu yang ada lebih cepat habis.
Jangan berhenti membaca surat ini walau kamu sudah tahu perasaanku, kumohon. Aku tidak memintamu untuk menjadi kekasihku sekarang, karena aku tahu kamu tidak pernah percaya pada jarak. Jarak secara harfiah. Kamu tidak percaya bahwa jarak akan menjaga cinta dengan baik. Kamu pun tidak percaya bahwa cinta bisa melaksanakan tugasnaya untuk mempersatukan jarak. Aku sudah terlalu tahu mengenai itu.
Sekarang mungkin sudah saatnya aku bertanya lagi apakah kamu akan tetap menemaniku menunggu senja walau di tempat yang berbeda? Jawab saja, tak usah pikirkan perasaanku.
Aku baru saja melongokkan kepalaku keluar jendela. Langit malam ini nampak lebih glamour dari biasanya. Entahlah, mungkin aku tidak terbiasa melihat kemewahan seperti yang malam berikan?
Harapanku hanya satu, esok pagi kamu akan menyusulku ke bandara, menyuruhku untuk tetap tinggal. Kamu berjanji akan menjagaku atau kamu akan memintaku menunggu disana seperti kamu akan menungguku disini. Ya, ya aku memang terlalu banyak membaca novel.
Esok pagi aku akan benar-benar pergi menuju tujuan selanjutnya. Cita-cita adalah tujuanku. Jauh dari tempatmu sekarang, besok dan seterusnya. Aku berjanji akan kembali sebelum tahun keempat itu pun kalau kamu ingin melihatku lagi. Sebenarnya ada satu keinginan dariku, aku ingin dapat menuju cita-cita yang sama denganmu. Namun inilah perbedaan, ia tidak pernah mau untuk dipaksa. Tinggal enam jam lagi aku akan menuju bandara. Aku mohon untuk kali ini kamu jangan diam. Aku mohon ucapkan saja selamat jalan karena pada akhirnya jalanku akan kembali lagi padamu.
Salamku, Kenangan
***
Aku melipat kertas surat yang sudah selesai kutulis dengan sangat hati-hati. Lalu menyelipkannya ke dalam sebuah buku yang ada di atas meja. Aku beranjak dari tempat duduk, lalu terlelap.
No comments:
Post a Comment