Pengintip

Thursday, December 29, 2011

Favorite Saya "Karna"

            Saya suka mendengar dan membaca cerita Mitologi Hindu, untuk menyaksikannya saya lebih suka yang dikemas dalam wayang. Penokohan wayang Jawa konon katanya merupakan adaptasi cerita dari India tersebut. Dulu waktu saya masih SD kalau tidak salah, saya pernah menyaksikan sinema drama di televisi yang mengisahkan tentang Mahabharata. Tapi sekali lagi saya lebih menyukai yang dikemas dalam adegan pewayangan. 

            Kesukaan saya adalah cerita Mahabharata yang berakhir pada perang Baratayuda dalam bahasa Indonesia atau dalam Mitologi Hindu disebut dengan perang besar di Kurukshetra. Tokoh favorit saya adalah Karna, ini bukan tanpa alasan loh. 
            Saya sangat kagum pada Karna karena sifatnya, ia adalah pendukung Korawa yang berarti adalah tokoh antagonis dalam cerita ini namun diluar dari sekutunya di pihak jahat sebenarnya Karna memiliki sifat yang dermawan dan rendah hati kepada sesamanya terutama fakir miskin. Ia adalah ksatria yang sesungguhnya. Ia lebih mendahulukan kewajibannya membalas budi kepada Duryodana  dari pada kecintaannya pada Pandawa saudaranya. 

            Dulu waktu usia saya masih 5-6 tahun saya sedang belajar membaca. Hampir semua buku yang ada di rumah milik Papa dan Mama saya baca. Papa saya punya buku yang sangat tebal, yang kalau saya tidak salah ingat habis saya baca dalam waktu satu tahun. Buku tersebut menceritakan tentang cerita Mahabharata. Buku inilah yang menjadi awal kesukaan saya pada cerita Mitologi Hindu tersebut. Tapi sekarang saya tidak tahu buku itu ada dimana, sepertinya sudah hilang waktu kami pindah rumah.

            Diceritakan Karna adalah kakak kandung satu ibu dari tiga diantara lima Pandawa yaitu Yudistira (Pandawa tertua), Bimasena (Pandawa kedua) dan Arjuna (Pandawa ketiga).

            Karna merupakan putra dari Dewa Surya atau Batara Surya dalam versi Indonesia dan Dewi Kunti. Suatu hari Dewi Kunti mendapat sebuah hadiah yaitu ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan mendapat putra darinya. Kesaktian ini ia dapatkan dari Resi Durwasa. Saat Dewi Kunti mencoba kesaktian dari mantra tersebut ia mencoba membaca mantra dan sambil menatap matahari terbit. Akibatnya Dewa Surya datang dan memberikan anugerah seorang putra kepadanya, putra inilah yang akhirnya nanti akan dikenal sebagai Karna. Dewa Surya membantu dengan segera agar Dewi Kunti melahirkan dan setelah melahirkan Dewa Surya membantu mengembalikan keperawanan Dewi Kunti lalu Surya kembali ke khayangan. 

            Nah karena Dewi Kunti tidak mau merusak nama baik kerajaan dengan memiliki bayi padahal belum menikah, akhirnya ia membuang bayi tersebut ke sungai Aswa. Bayi itu terbawa arus sungai hingga ditemukan oleh Adirata, seorang kusir di Kerajaan Hastinapura. Kemudian bayi tampan yang sudah sejak lahir mengenakan pakaian perang lengkap serta kalung dan anting pemberian Dewa Surya itu diberi nama Basusena lalu diangkat menjadi anak oleh Adirata dan Radha istrinya. 

            Basusena juga dikenal sebagai Sutaputra yang berarti anak kusir serta Radheya yang artinya anak Radha, istri Adirata. 

            Semakin beranjak dewasa, Radheya yang tumbuh di keluarga kusir justru ingin menjadi panglima kerajaan. Ayah angkatnya, Adirata pun mencoba mendaftarkannya pada Resi Drona yang pada saat itu juga sedang mendidik putra Pandawa dan Korawa. Namun sayang, Resi Drona tidak mau menerima murid yang bukan berasal dari kaum Ksatriya. 

            Radheya yang sudah memiliki niat besar untuk belajar pada Drona pun akhirnya harus belajar secara diam-diam. Dia selalu mengintai Drona ketika mengajar Pandawa dan Korawa termasuk dalam mengajarkan ilmu Danurweda atau memanah. 

            Keahliannya ini yang membuat Radheya kemudian dikenal dengan nama Karna. Dalam bahasa Sanskert Karna bermakna mahir atau terampil. Nama Karna digunakan setelah Radheya menguasai ilmu memanah dengan sempurna. 

            Sampai suatu hari, Resi Drona menampilkan hasil didikan para Pandawa dan Korawa di depan seluruh bangsawan dan rakyat di Kerajaan Hastinapura. Setelah melalui berbagi pertandingan akhirnya diumumkanlah bahwa murid terbaik Drona adalah Arjuna, Pandawa Ketiga. Saat itulah Karna muncul dan menantang Arjuna untuk adu memanah dengannya. 

            Namun Resi Krepa, pendeta kerajaan meminta agar Karna memperkenalkan diri terlebih dahulu sebab yang boleh melawan Arjuna hanyalah ia yang berasal dari golongan sederajat. Karna pun malu karena ia bukanlah dari golongan yang sama dengan Arjuna ataupun Pandawa.

            Pada saat itulah Duryodana maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki oleh kaum ksatriya saja. Namun karena peraturan sudah mengatur demikian akhirnya Duryodana meminta ayahnya untuk mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga. Karena Duryodana adalah anak kesayangan Dretarasta permintaan pun diterima dan pada ari itu juga Karna diangkat menjadi raja bawahan di Angga. 

            Pada penobatan Karna tersebut hadir pula ayah angkatnya, Adirata. Melihat hal itu Bimasena mengejek Karna sebagai anak kusir dan tidak pantas melawan Arjuna. Untungnya hari itu pertandingan tidak jadi dilaksanakan karena matahari mulai terbenam. Disana, di penobatan Karna itu hadir pula Dewi Kunti. Pada saat pertama kali ia melihat Karna, ia langsung mengenalinya sebagai putra Surya yang dulu ia buang dari pakaian perang serta kalung dan anting yang melekat di badannya. 

            Kemudian raja Pancala membuat sebuah sayembara dengan hadiah yaitu putrinya, Dropadi. Sayembara tu adalah sayembara memanah, Duryodana pun tertarik pada Dropadi. Namun walaupun Duryodana adalah sakti namun ia tidak tahu dan tidak mampu menggunakan panah yang benar. Kemudian, Karna yang merasa mempunyai utang budi pada Duryodana pun maju untuk memenangkan pertandingan tersebut. 

            Karna yang sudah bersiap-siap untuk memanah kemudian dikejutkan dengan protes dari Dropadi. Katanya, ia, Dropadi tidak mau jika Karna menang dan ia harus menjadi istri dari anak seorang kusir.  Karna yang pada saat itu sudah terlanjur sakit hati mengatai Dropadi sebagai wanita sombong dan seperti menyumpahi bahwa Dropadi akan menjadi perawan tua. Karena takut, maka ayahnya Dropadi, Drupada mengadakan sayembara lagi dengan syarat yang dipermudah yaitu tidak harus dari kaum ksatria. Arjuna yang sedang menyamar sebagai brahmana mengikuti sayembara dan menang. 

            Atas permintaan Kunti untuk membagi Dropadi dengan saudara Arjuna yang lain, akhirnya Pandawa pun menikahi Dropadi. 

            Pandawa pun berhasil membangun Indraprastha yang sangat indah dan membuat Korawa iri padanya. Pada suatu permainan dadu, Korawa mencurangi Pandawa dan akibatnya Indraprastha jatuh ke tangah Korawa. Begitu juga dengan Dropadi, ia akhirnya jatuh ke tangan Korawa. 

            Karna yang masih menyimpa sakit hati pun mengatakan bahwa seorang wanita yang menikah dengan lima pria tidak pantas disebut istri namun seorang “maaf” pelacur. Di ruang permainan, Duryodana meminta Dursasana (Korawa nomor dua) untuk menelanjangi Dropadi namun karena bantuan dari Sri Kresna akhirnya Dropadi dapat diselamatkan.

            Jauh sebelum perang besar terjadi, Karna pernah berguru pada Parasurama. Parasurama adalah seorang brahmana yanga berumur panjang dan juga guru dari Resi Drona. Ia mempunyai sebuah pengalaman buruk dengan kaum ksatria sehingga ketika Karna berguru padanya, ia menyamar sebagai seorang brahmana muda. 

            Pada suatu hari, Parasurama tidur dipangkuan Karna. Kemudian muncul seekor serangga menggigit Karna, karena ia tidak ingin membangunkan gurunya tersebut akhirnya ia biarkan kakinya berlumuran darah dan menahan sakitnya. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya tersadarlah dia bahwa sebenarnya Karna bukanlah seorang Brahmana melainkan seorang ksatria asli dengan caranya menahan rasa sakitnya. Merasa telah ditipu oleh Karna, Parasurama pun mengutuk Karna. Katanya suatu hari ketika Karna melawan musuh terbesarnya Karna akan lupa pada semua mantra yang pernah diberikan oleh Parasurama. 

            Tidak hanya kutukan dari Parasurama, Karna juga mendapat kutukan dari seorang Brahmana yang sapinya ditabrak oleh Karna ketika sedang menyeberang. Dari brahmana ini ia mendapat kutukan, ketika ia akan melawan musuh terbesarnya nanti roda kereta kudanya akan terjerumus ke dalam lumpur. 

            Suatu hari Dewa Indra, ayah Arjuna merencanakan untuk merebut baju pusaka milik Karna pemberian Surya dengan menyamar sebagai pendeta. Mendengar hal tersebut, Dewa Surya tidak mau diam saja. Ia memberi tahukan rencana tersebut pada Karna, namun jawaban Karna justru mengejutkan. Katanya, ia telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun yang diminta oleh orang lain pasti akan dikabulkannya. Dia tidak merasa risau atau gelisah, itu menandakan bahwa sebenarnya ia mencintai adik-adiknya dengan mengalah, bersedia memberikan baju pusaka yang konon membuatnya sakti tersebut.

            Setelah mendapat baju pusaka dan anting milik Karna, Dewa Indra justru membuka samarannya dan memberikan hadiah berupa Vasavi Shakti atau Konta. Senjata ini hanya dapat digunakan sekali saja dan setelah itu akan lenyap. Dan inilah bukti kedua kecintaan Karna yang sebenarnya pada saudara-saudara Pandawanya. Pada penggunaannya kelak, Konta tidak jadi ia gunakan untuk membunuh Arjuna adiknya. Menurut versi Jawa, pusaka pemberian Indra bukan bernama Konta, melainkan bernama Badaltulak.

Pada versi Jawanya, Konta disebut dengan Kuntawijayadanu yang diberikan oleh Batara Guru. Batara Narada yang diutus oleh Batara Guru untuk menemui dan memberikan pusaka tersebut kepada Arjuna yang sedang bertapa untuk mendapat pusaka yang akan ia gunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca. Namun dalam perjalanannya, Batara Narada bertemu dengan Karna dan menyangka bahwa Karna adalah Arjuna, berkat cahaya remang-remang yang diciptakan oleh Batara Surya. Setelah sadar telah ditipu, Batara Narada menghampiri Arjuna yang asli kemudian Arjuna melawan Karna namun ia hanya mendapatkan sarungnya saja. Sarung itu pun masuk ke dalam perut Gatotkaca dan menambah kekuatannya. 

            Masa kekalahan dadu bagi Pandawa sudah berakhir namun Korawa tidak mau menyerahkan Indraprastha secara cuma-cuma, mereka mau menempuhnya dengan jalan perang. Pandawa pun mengutus Kresna untuk menjadi duta menuju Hastinapura. Kresna mencoba berbicara dengan Karna, jati diri Karna yang sebenarnya diungkaplah. Namun hal itu tidak membuat Karna berbalik meninggalkan Korawa justru katanya, ia tidak mau meninggalkan Duryodana dan Korawa yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu. Pada versi Jawanya, kedatangan Kresna ke Hastinapura justru untuk meminta Karna bergabung dengan Pandawa. Dan di versi Jawa pula, Karna sudah mengetahui bahwa ia adalah kakak seibu Pandawa sejak awal sebelum pernikahannya dengan Surtikanti. 

            Setelah penolakan itu Karna pun bertemu langsung dengan ibunya, Dewi Kunti ketika Karna sedang sembahyang di tepi sungai. Sekali lagi rayuan Kunti yang bahkan adalah ibu kandungnya pun ditolaknya. Ia tetap pada pendiriannya untuk membela Korawa. Ia tidak mau disebut sebagai pencuri. Katanya: “Kalau pun Tuan Putri adalah ibu hamba, dan Prabu Yudistira, Raden Bhima dan Raden Arjuna adalah adik-adik hamba, maka hamba tidak akan mau dikategorikan sebagai pencuri yang telah menikmati kehidupan dan kehormatan tanpa mengembalikan sesuatu” (dikutip dari sini) Pada ibunya pula ia bersumpah untuk tidak membunuh saudara-saudaranya dalam peperangan yang akan segera terjadi. 

            Pada perang besar, Korawa memilih Bisma sebagai panglimanya. Pada saat itu terjadi perselisihan antara Bisma dan Karna. Bisma menolak jika Karna berada dalam pasukannya sementara Karna tidak mau ikut perang jika masih dipimpin oleh Bisma. Namun pada hari kesepuluh Bisma pun gugur. Karna sekali lagi muncul sebagai ksatria, ia melupakan semua dendamnya pada Bisma.  Kemudian Bisma mengakui bahwa sebenarnya ia hanya berpura-pura mengusir Karna supaya tidak bertempur melawan Pandawa, saudaranya sendiri. Bisma mengetahui jati diri Karna sebagai kakak para Pandawa setelah diberi tahu oleh Narada (maharesi kahyangan). Bisma pun juga menyarankan pada Karna agar ia berbalik menjadi lawan Korawa dan bergabung dengan Pandawa namun untuk yang ketiga kalinya Karna menolak. Ia tidak ingin disebut ‘pencuri’ yang menikmati apa yang ia mau namun tidak mengembalikan apapun. 

            Pada hari keempatbelas, Karna turut berperang mendampingi Drona yang menjadi panglima bagi Korawa. Duryodana mengalami luka yang cukup parah ketika menghadapi Gatotkaca dan Bimasena. Karna pun didesak oleh Duryodana untuk menggunakan Vasavi Shakti untuk mengalahkan Gatotkaca. Karna yang awalnya ingin menggunakan Vasavi Shakti untuk mengalahkan Arjuna, musuh besarnya tersebut akhirnya mengalah dan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dewa Indra akhirnya Konta pun lenyap setelah sekali pakai. Di cerita versi Jawa, Karna membunuh Gatotkaca dengan pusaka Kuntawijayadanu yang pada sebelumnya di dalam perut bayi Gatotkaca pernah masuk sarungnya. Setelah Gatotkaca tewas akhirnya pusaka Kuntawijayadanu pun musnah ke dalam perut Gatotkaca yang dengan demikian telah bersatu kembali dengan sarungnya. 

            Pada hari keenambelas akhirnya Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula dan Sadewa namun tidak sampai membunuhnya sesuai dengan sumpahnya pada sang ibu, Dewi Kunti. Akhirnya sampai pada hari yang telah ditunggu, Karna pun melawan Arjuna secara langsung. 

Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran antara keduanya pun ditunda lagi karena matahari mulai terbenam. 

Pada hari ketujuhbelas, perang antara Karna dan Arjuna pun dilanjutkan. Namun di hari itu juga kutukan yang pernah di dapatkan oleh Karna menjadi kenyataan. Yang pertama ketika Arjuna membidikkan panah Pasupatinya ke arah Karna tiba-tiba roda kereta Karna terperosok ke dalam lumpur. Karna tidak peduli dengan roda keretanya, ia kemudian mencoba membaca mantra yang pernah ia pelajari dari Parasurama namun kemudian ia lupa pada semua mantranya.

Karna pun turun untuk mendorong keretanya agar keluar dari lumpur dan meminta Arjuna untuk menahan diri sementara ia mendorong keretanya. Pada saat itulah Kresna mendesak Arjuna untuk segera membunuh Karna, Kresna pun mengingatkan Arjuna bahwa sebelumnya Karna juga berlaku curang dengan mengeroyok Abimanyu hingga ia tewas. 

Arjuna yang diingatkan pada putranya yang sudah tewas dengan tragis itupun dengan segera membidikkan panah Pasupatinya dan memenggal kepala Karna sehingga ia tewas seketika. 

            Dalam versi Jawa sama dengan versi aslinya, Karna tewas oleh Arjuna. Namun ceritanya masih berlanjut dengan keris Kaladite milik Karna yang menyerang Arjuna dan ditangkis dengan keris Kalanadah peninggalan Gatotkaca, kemudian kedua keris itu lenyap bersamaan. 

            Ini adalah bagaimana cara saya melestarikan kebudayaan Indonesia yang ada, saya menuliskannya pada sebuah entri blog. Pewayangan yang diadaptasi dari cerita Mitologi Hindu ini juga merupakan kebudayaan milik Indonesia. Walaupun ceritanya diangkat dari cerita di India sana namun Indonesia punya cara tersendiri menyampaikannya yaitu dengan wayang. Mungkin tidak semua pemuda-pemudi Indonesia tahu dengan cerita-cerita pewayangan yang ada, bahkan cerita tersebut tidak pernah  berubah dari masa ke masa jika muda-mudi bangsa mau mencobe mengenalnya. Beberapa cerita pewayangan sekarang hanya dimodifikasi dengan kejadian-kejadian yang ada akhir-akhir ini. Seperti apa contoh cerita pewayangan yang mengikuti kejadian yang sering terjadi saat ini? Bisa kita lihat ceritanya disini Mari pelajari dan pahami budaya Indonesia, lestarikan budaya milik Ibu Pertiwi. Majukan dengan cara-cara yang lebih modern pada saat ini. Indonesia penuh budaya. 


           



           

No comments:

Post a Comment