Pengintip

Thursday, January 26, 2012

Maaf, Saudara Kembarku




Saudara kembarku, apa kabarmu? Sudah lama kita tak bicara, sudah lama pula kita tidak bertegur sapa, hanya sekedar berkata “Hai” pun sudah tak pernah kurasa. Ada masalah apa sebenarnya? Kenapa tidak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut kita?

Saudara kembarku, seseorang yang lahir pada hari yang sama denganku, 2 Apri 1994 namun di -entah- berapa jam yang berbeda dan dari rahim ibu hebat yang berbeda pula, mengapa tak pernah ada lagi obrolan tidak penting mengenai bulu kaki dan betis sebesar tongkat pemukul baseball diantara kita? Mengapa tak ada lagi waktu yang habis karena kelamaan mengobrol di parkiran sekolah? Mengapa tidak ada lagi kamu yang memintaku membawa banyak novel yang hendak kau baca kala kau merasa galau? Mengapa semuanya tidak pernah terjadi lagi seperti waktu yang lalu? Apa yang salah, saudara kembarku?

Saudara kembarku, aku punya satu pertanyaan yang sebelumnya tidak ingin aku tanyakan namun aku harus menanyakannya. Aku ingin menanyakan kabar Kate Middleton? Pasangan dari Prince William? Apa kabar ia? Apakah ia sekarang sedang murung sendirian di dalam kandang? Apakah ia sehat-sehat saja? Dia baik-baik saja? Saudara kembar, bagaimana kabar hamster betina itu? 

Sebelum akhirnya kita saling diam, kabar duka kau sampaikan padaku. katamu Prince William, si hamster jantan sudah meninggal dunia namun hingga hari terakhir kita berbicara aku tidak mendengar kamu membicarakan tentang hamster betinanya. Aku tidak meminta kembali hewan itu, aku hanya ingin menanyakan kabarnya saja. Aku kangen.

Saudara kembar, kita terakhir berbicara ketika pentas seni sekolah. Bagaimana mungkin aku lupa, hari dimana kita saling desak-desakan di depan panggung? Dan hari dimana tiba-tiba kita saling bicara setelah sekian lama saling diam. Namun kemudian yang terjadi setelah hari itu, kita lagi-lagi diam seolah tidak ada yang terjadi pada malam sebelumnya. Seolah tidak pernah ada desak-desakan di depan panggung, seolah tidak pernah ada kamu yang memintaku untuk menunggu hingga acara selesai, apakah itu memang benar-benar tidak pernah terjadi? 

Saudara kembar, aku pernah bertanya di salah satu tweet-ku mengenai hujan dan senja. Masih ingatkah dengan jawabanmu kala itu? Kala keindahan senja dihapuskan oleh rinai hujan?
“disebut apakah ia senja atau hujan?” lalu kamu menjawab “senja”

Saudara kembarku, sebenarnya aku lebih suka menyebut ia sebagai hujan. Aku memang mengagumi senja, seperti yang kutuliskan pada pantunku waktu itu, namun senja tidak permah membuatku uring-uringan di rumah. Hanya hujanlah yang mampu berbuat demikian. Hanya kamu, yang memiliki nama tengah ‘Reagen’ yang dilafalkan menjadi ‘Regen’ yang dalam bahasa Belanda artinya hujan. 

Saudara kembarku, bolehkah aku meminta maaf padamu melalui surat ini? Walaupun hingga hari ini aku tidak tahu apa salahku. Beberapa orang menenangkanku dengan mengatakan bahwa ini hanya salah paham, walau menurutku  tidak pernah ada yang salah. Ini mungkin semacam ‘existence syndrome’ dan aku harus menunggu hingga penyakit itu benar-benar pergi darimu sehingga kamu mau menjadi saudara kembarku lagi. Atau ada baiknya aku menjadi terkenal sama sepertimu? Menjadi cantik? Atau mungkin aku harus mengenakan barang-barang brand terkenal agar bisa sama dengan mereka, teman-temanmu? Tapi sungguh aku meminta maaf saudara kembarku, aku tak punya banyak harta yang bisa aku perlihatkan padamu dan aku juga tak punya kreatifitas yang dapat membawaku menjadi terkenal. Maukah kamu memaafkanku dan memintaku untuk menjadi saudara kembarmu lagi? Maukah kamu memaafkanku dan memintaku untuk menjadi saudara kembarmu lagi? Maukah? Maukah? Maukah? 

Maafkanlah semua kesalahanku yang membuat kita akhirnya saling diam walau dalam kenyataannya aku tidak tahu apa salahku.

#30HariMenulisSuratCinta Hari ke-13

No comments:

Post a Comment