Pengintip

Wednesday, January 25, 2012

"Seolah"



Silahkan baca dengan menyertakan kata “seolah” yang ada di dalam kurung!

Sudah lebih dari 24 jam berlalu dan bayangan kejadian itu (seolah) masih terputar bak CD rusak di kepala saya. Saya (seolah) masih ingat apa yang terjadi kemarin sore dengan sangat jelas. 

Namun saya sudah memulai aktifitas saya (seolah) biasa saja sejak semenit setelah saya mendapati kenyataan pahit itu. Di menit pertama kemarin sore, saya bahkan masih bisa (seolah) tersenyum padanya, saya masih bisa (seolah) menanggapi guyonannya dan (seolah) sedang bahagia ada di sampignya.

Kemarin sore saya (seolah) tidak meneteskan air mata karena air mata saya (seolah) sudah mengalir deras diwakilkan oleh tetes-tetes hujan. Saya (seolah) tidak menyalahkan dia dan juga (seolah) tidak menyalahkan waktu karena saya (seolah) tahu bahwa sayalah yang bersalah disini. 

Saya bak pakar percintaan yang (seolah) sudah paham dengan permasalahan sedemikian rupa. Saya (seolah) mampu berdiri tegak dengan pahit yang sudah menghadang di simpang jalan. Saya (seolah) dapat berlari menjauhinya tanpa sedikit pun merasakan luka. Saya (seolah) mampu menjalani semua yang ada. 

Bahkan pagi ini saya memulai hari dengan (seolah) tertawa terbahak-bahak ketika mengingat yang telah terjadi. (seolah) Saya tidak pernah merasakan apapun, sakit apapun tidak pernah kurasakan.

Kemudian sebuah wacana di sampul buku itu (seolah) menyadarkan saya, bahwa saya (seolah) bersalah sebenarnya. Wacana itu (seolah) menyadarkan saya!

Katanya, “Cintai dia dengan setengah hati, cemburui dia dengan setengah hati”

Saya (seolah) terbangun dari mimpi buruk saya, mimpi buruk yang sudah saya alami selama tiga tahun terakhir ini. 

Akhirnya saya (seolah) tahu bahwa saya sudah terlalu jauh dan dalam mencintai dia. Saya (seolah) lupa menyediakan ruang untuk sang cemburu. Cemburu yang ganas, yang tidak pernah mau mengalah. 

Cemburu yang (seolah) ingin berdesak-desakan dengan cinta di dalam ruang hati saya yang sempit. Cemburu datang dan saya (seolah) biasa saja merasakannya. Saya (seolah) sudah hebat dalam mengatasi rasa cemburu. Saya (seolah) sudah ahli dalam membagi satu ruang menjadi dua, untuk cinta dan cemburu. Saya (seolah) merasa pintar dengan menumpuk cinta terlalu banyak di dalam hati. 

Lalu saya (seolah) membuat persepsi yang pada dasarnya menyalahkan saya yang (seolah) bodoh. Cinta (seolah) adalah air atau zat-zat cair, sementara cemburu (seolah) adalah benda padat yang memiliki massa, dan hati (seolah) adalah tabung. 

Seperti kata ala Archimedes, dengan kata lain (seolah) dijelaskan bahwa ketika suatu benda padat yang memiliki massa dicelupkan ke dalam tabung yang terisi penuh air, maka sebagian air yang banyaknya sama dengan massa benda akan tertumpah ke luar dari tabung. 

Hal ini (seolah) juga berlaku pada perasaan saya saat ini, ketika cemburu (seolah) datang dan dengan beringasnya masuk ke dalam hati saya, sebagian cinta saya pun tertumpah keluar, terkikis, pergi dan hilang. 

Seandainya saja saya (seolah) sadar dengan mencintai dia dengan sederhana dan tidak berlebih, mungkin sekarang tidak akan ada kata yang (seolah) nampak menyedihkan di setiap tulisan yang saya buat. Tidak ada kata-kata itu dan tidak akan ada lagi hujan yang turun karena saya (seolah) tidak menangis. 

Atau mungkin ini memang perjalanan nasib yang (seolah) harus saya jalani? Dimana seharusnya saya (seolah) menangis saja agar semua perasaan yang ada untuk dia (seolah) nampak dan dia (seolah) kembali pada saya? 

Bahkan hingga tengah malam ini saya masih saja (seolah) tertawa mengingat kejadian yang sudah terjadi. (seolah) Hingga detik ini. 

***

Kemudian baca lagi dengan menghapus kata “seolah”, maka artinya akan sedikit berbeda.


No comments:

Post a Comment